Wednesday 3 August 2016

Blog ini sudah tidak lagi beroprasi. Bagi yang kangen, silakan kunjungi www.nulasnulisblog.wordpress.com :))

Friday 30 May 2014

Sudah beberapa hari ini kedua lubang hidungku mampet. Hanya sedikit udara yang mampu masuk. Sedangkan, ingus terus keluar dari keduanya. Kental dan segar. Warnanya kadang putih, kadang hijau. Meleleh dengan perlahan menuju bibirku, dan jika tak cepat-cepat kulap dengan tisu atau baju, akan ada rasa sedikit asin di ujung lidahku.

Sakit flu memang menjengkelkan. Merokok jadi tak enak. Lebih parahnya lagi, semua pekerjaan jadi terganggu. Akibat harus sejenak-sejenak mengelap ingus yang terus meleleh. Bahkan, kadangkala mengharuskanku pergi ke toilet, jika ingusku yang keluar terlampau banyak. Membuangnya ke wastafel, lalu membasuh hidungku dengan air. Lega.

Namun, semua keribetan itu sama sekali tak berpengaruh ketika aku membaca novel karya Eka Kurniawan, ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Terbayar Tuntas,’ semalam. Ingus yang terus keluar, tak sama sekali menggangguku menyelami kalimat demi kalimat yang ia tulis. Ajaib. Ya, Eka memang penulis yang ajaib. Dan keajaiban itu kurasakan semalam.

Membaca Seperti Dendam, bagiku, adalah seperti menonton film di layar kaca. Paragraf demi paragraf, dipotong dan disusun sedemikian rupa, menciptakan sebuah alur. Kadang maju, kadang mundur. Setiap konflik yang diceritakan terasa benar-benar nampak di depan mata. Keluar dari teks. Pembunuhan, perkosaan, perkelahian, percintaan,yang ia ceritakan tampak nyata.

Sejak kalimat pertama, aku dibikin tercengang oleh kelihaian Eka memilih kata untuk dirangkai menjadi kalimat. “Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir (hal. 1), begitu ia menuliskannya. Padat. Tak bertele-tele. Langsung menghujam ke inti masalah. Sebuah ucapan selamat datang yang lugas lagi fulgar. Sebuah isyarat bahwa, ini bukan perjalanan yang main-main. Bukan novel ecek-ecek. Dan itu benar, novel ini memang telah ia persiapkan dengan matang. Sepuluh tahun sejak novel terakhirnya, Lelaki Harimau (2004), adalah waktu yang cukup lama baginya dalam mematangkan konsep hingga terbitnya novel ini.

Secara garis besar, novel ini menceritakan tentang kisah seorang pemuda, yang karena suatu peristiwa tak bisa ngaceng, bernama Ajo Kawir. Yang dengan segala hal berusaha membuat burungnya kembali normal. Juga, cerita tentang orang-orang di sekitarnya, Si Tokek, yang secara tidak langsung disebut sebagai penyebab burungnya tidur dalam waktu lama; Iwan Angsa, bapak Si Tokek, yang begitu perhatian terhadapnya; dan Iteung, wanita yang pada akhirnya nanti jatuh cinta padanya dan mau menikahinya. Dan masih banyak tokoh lainnya, yang semuanya penting.

Hal yang paling menarik dari novel ini, adalah jalan ceritanya yang tak biasa. Berliku dan menegangkan. Tak hanya bagi adrenalin, tapi juga burung pembaca. Seperti seorang yang tengah bercinta, bab pertama novel ini adalah penetrasi sebelum mencapai percumbuan yang menggemaskan. Lalu, bab-bab selanjutnya pembaca terus digiring menuju klimaks. Kadang dengan tempo yang cepat, kadang lambat. Bercinta, agar nikmat, memang tak boleh dengan tempo yang stagnan.

Cara setiap tokoh dan konflik baru dihadirkan, pun sama sekali tak tertebak. Namun, dengan penguasaan alur yang apik, penulisnya mampu membangun sebuah jembatan cerita yang kokoh, yang membuat pembaca tak serta merta kebingungan saat muncul tokoh dan konflik-konflik yang baru. Dengan cara seperti itulah, pembaca digiring mencapai klimaks cerita.

"Aku tahu kamu mengincar tua bangka itu, aku sudah memerhatikanmu," kata si gadis. "Sebelum kamu bisa menyentuhnya, lewati dulu mayatku." (hal. 49), begitulah salah satu potongan adegan pertemuan Ajo Kawir dengan Iteung. Siapa sangka, sebuah perkelahian tak sengaja, adalah pintu bagi terbukanya cerita cinta dalam novel ini. Membuat cerita novel ini semakin panjang dan berliku.

Pada bab-bab akhir, saat mencapai klimaks, dibukalah semua kedok tokoh di dalam cerita. Sebuah suguhan klimaks yang ciamik. Lalu, dengan tempo yang berangsur-angsur turun kembali, Eka menutup cerita dengan manis. Memberi kecupan terakhir pada pembaca. Kecupan yang begitu manis. Kecupan terakhir setelah pergumulan, sebelum tidur.

Begitulah ajaibnya novel ini. Sehingga hampir tak ada kekurangan bagiku. Cerita yang vulgar, ternyata dapat menjadi serangkaian pesan moral, bahkan kritik. Seperti kutipan percakapan Ajo Kawir berikut ini”Kehidupan manusia ini hanyalah impian kemaluan kita. Manusia hanya menjalaninya saja. (hal. 189) Jadi, dapat kukatakan, Eka tak hanya sekadar bercerita tentang burung di novel ini. Lebih dari itu, ia berfilsafat.
 
Twitter Facebook Dribbble Tumblr Last FM Flickr Behance